Satria Prayoga
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan Peneliti Pemilu dan Pilkada
Terhadap fenomena yang terjadi di Provinsi Lampung seharusnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dapat berperan aktif dalam menindaklanjutinya. Bahwa terhadap unggahan dari tiktokers awbimaxreborn/Bima sebagai subyek hak memilih/pemilih dalam pemilu yang mengunggah ekpresinya terhadap jalan rusak yang ada di Provinsi Lampung, penulis mengategorikan sebagai suatu tindakan kampanye negatif. Perlu penulis jelaskan terlebih dahulu bahwa negara kita sedang melaksanakan sebuah hajat besar berupa pesta demokrasi, dimana pada tahun 2024 akan melaksanakan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah terhitung sejak juni 2022 kemarin kita telah memasuki tahapan awal dalam melaksanakan tiga pemilihan umum itu semua.
Berdasarka beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa banyak letak permasalahan yaitu terhadap aktifitas kampanye. Untuk itu pembahasan dilakukan dengan membedakan terlebihdahulu antara Kampanye Hitam (black campaign) dengan Kampanye Negatif (negative campaign), terhadap kampanye hitam telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada membuat suatu larangan dalam kampanye terutama terhadap kampanye hitam (black campaign), sebagaimana Pasal 69 huruf a sampai dengan huruf k, beserta sanksi Pidananya terhadap larangan kampanye tersebut terdapat pada Pasal 187 Ayat (2) “Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 6.00.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Sebagaimana penjelasan Pasal 69 huruf c ketentuan dalam huruf ini dikenal dengan istilah Kampanye Hitam (black campaign). Sedangkan Kampanye negatif belum diatur oleh Undang-Undang Pilkada.
Dikutip pada halaman law.ui.ac.id “Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin, Oleh karena kampanye negatif tidak dilarang, maka pihak yang diserang oleh pihak lainnya melalui kampanye negatif semestinya tak lapor ke polisi. Pihak yang bersangkutan dapat membalas dengan mengeluarkan sebuah data valid atau argumen yang dapat membela posisinya. Jika lawan politik melakukan kampanye hitam, suatu pihak baru dapat melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)”.
Namun terhadap kekosongan hukum dalam Undang-Undang pilkada tersebut dan menimbulkan dampak terhadap adanya kegaduhan dinegara kita, mengakibatkan jatuhnya karakter seseorang, Seharusnya Peresiden melalui Menkopohukamnya dengan adanya kekosongan hukum ini mengambil suatu tindakan Diskresi sebagai upaya menertibkan kegaduhan ini. Bukan malah sebaliknya memojokan Pemerintahan Provinsi Lampung dalam hal ini selaku Pimpinannya adalah Gubernur yang masih memiliki hak Konstitusional untuk mencalonkan diri kembali untuk ke dua kalinya menjadi Gubernur berdasarkan Undang-Undang Pilkada, yang dalam hal ini masuk dalam kategori sebagai Obyek Kampanye Negatif. Semua ke gaduhan kampanye negatif ini amat sangat merugikan Gubernur Lampung, padahal seharusnya Negara hadir dalam memberikan perlidungan hukum, secara Lex Specialis Subyek Kampanye hitam dan Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi termasuk yang diatur dalam aturan Undang-Undang Pilkada.
Sebagaimana pendapat para ahli mengenai fungsi hukum salah satunya dari Satjipto Raharjo adalah : pertama Permbuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan ataupun yang menentukan hubungan orang perorangan, kedua penyelesaian sengketa-sengketa, keiga menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, terutama saat terjadi perubahan dalam masyarakat, kemudian yang berikutnya pendapat dari Suryati Hartono fungsi hukum dalam pembangunan adalah : pertama hukum sebagai pemelihara ketertiban dan kemanan, kedua hukum sebagai sarana pembangunan, ketiga hukum sebagai sarana penegakan keadilan, hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Beda lagi terhadap para elit partai politik dan legislatif yang memanfaatkan kampanye negatif ini, sebagaimana tugas legislatif seharusnya dalam menjalankan fungsi legislasinya merumuskan permasalahan kampanye negatif tersebut agar masuk kedalam salah satu yang diatur oleh Undang-Undang Pilkada, bukan malah sebaliknya berbuat menghalang-halangi penegak hukum dalam menjalankan penegakan hukum pidana pemilu dan pidana pemilihan.
Untuk itu kepada Bawaslu RI dengan tugasnya sebagai pengawas terhadap Pelanggaran-pelanggaran pemilu dan pelanggaran pemilihan dengan kewenangan aktifnya bersama-sama dengan Gakumdu (kepolisian dan kejaksaan) tanpa ada laporanpun dapat melakukan penindakan seperti yang dilakukan elit-elit partai politik dan legislati-legislatif terlebih bagi mereka yang akan mencalonkan kembali sebagai calon legislatif dan memanfaatkan kampanye negatif dan menghalang-halangi penegakan pidana pemilu dan pidana pemilihan ini, apakah bisa dilakukan sebuah tindakan karena sudah melakukan kampanye diluar jadwal sebagaimana ketentuan pelanggaran pidananya, terhadap orang-orang partai dan legislatif yang telah melakukan kampanye negatif lebih awal sebagaimana Pasal 492 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).” Karena sebagai sebuah pelanggaran
administratif bagi peserta pemilu. Hal ini merupakan ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk mengusutnya berdasarkan Peraturan KPU.
Jo Pasal 198 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 :
“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan atau menghalang-halangi Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Disini Penulis hanya mencoba untuk sama-sama mengingatkan. Bahwa didalam negara hukum dalam menyikapi setiap kegaduhan yang ada dimasyarakat untuk sama-sama kita coba selesaikan dengan santun dan bijak sana.Jangan malah masyarakat dimanfaatkan dengan kegaduhan-kegaduhan yang ada dimedia sosial tersebut tanpa ada yang mau untuk memeberikan pencerahan kepada masyarakat, pemanfaatan media sosial harusnya pada saat masuk jadwal kampanye dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai sarana menuangkan sebuah visi misi bagi para kontestan politik, baik itu calon Presiden, calon Legislatif dan calon Kepala Daerah dengan menuangkan kelebihan-kelebihan calon dan kekurangan-kekurangan incumbent sebagai lawan politiknya secara “fair play”.
Kita tidak tahu siapa saja para pengguna media sosial baik dari kategori umur dan latar belakang pendidikan dalam menyikapi dinamika perpolitikan yang telah masuk tahun politik ini, terlebih bagi mereka generasi-generasi baby boomers yang dari segi emosional belum bisa untuk mengontrol diri atara pengetahuan politik dan etika dalam mengutarakan pendapat belum ada keseimbangan.
Untuk itu pendidikan politik terhadap generasi-generasi baby bumers sebagai pengguna aktif media sosial perlu menjadi perhatian bagi pemerintah, karena terhadap mereka menjadi obyek bagi accont-accont fake untuk mendoktrin membuat kegaduhan dalam mencapai tujuan politiknya.
Generasi baby boomers sebaiknya lebih diberikan pengetahuan antara keseimbangan Hak dan Kewajiban terhadap negara, bahwa keritik adalah hak kepada negara yang harus disampaikan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif sebagaimana Pasal 64 Ayat (3) Undang-Undang Pilkada, namun sebelum menuntut hak ada baiknya kita sama-sama intropeksi terlebih dahulu apa yang sudah kita berikan kepada negara sebagai bentuk kewajiban tanggungjawab kita sebagai masyarakat terhadap negara. (*)