Penulis : Remon Firnandus, S.Pi
Kontestasi Pesta Rakyat Pemilihan Umum (Pemilu) sudah di depan mata. Yang rencananya akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang dengan serentak baik pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPRD, DPD RI, hingga kepala daerah.
Menurut Undang-undang Republik Indonesi Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang dimaksud dengan pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Strategi mulus dalam menjalankan Demokrasi adalah menguatkan akuntabilitas lembaga Bawaslu itu sendiri, inilah yang menjadi keprihatinan bagi bangsa ini. Dalam pidatonya, Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim mengatakan riuh rendah, hiruk pikuk soal demokrasi, tetapi tidak Accountability.
“Demokrasi itu tidak bisa ditentukan kewajarannya, kehebatannya, semata-mata dalam pemilu. Tetapi relevance-nya kepada kita atas pertimbangan akhlak, moral, dan ethics mesti tentang Accountability, ”katanya dalam sambutan di CT Corps Leadership Forum, Senin (9/1/2023) beberapa bulan lalu.
Akuntabiulitas Demokrasi, meliputi dua hal yang pertama, Proses Politik Elektoral dan Kedua adalah Pendayagunaan atau Utilitas Demokrasi setelah Pemilihan.
Politik Elektoral dalam proses politik elektoral, makna akuntabilitas ditentukan oleh sejauh mana proses dan mekanisme demokrasi dipastikan berjalan di atas prinsip-prinsip yang dapat dipercaya, amanah, dan dipertanggungjawabkan.
Pada aspek utilitas demokrasi, makna akuntabilitas ditentukan oleh maksimalisasi pemanfaatan atau pendayagunaan demokrasi bagi pemenuhan aspirasi para pemilih (Mark Philp, ”Delimiting Democratic Accountability”, Political Studies, 2009).
Sebagian ilmuwan politik mendefinisikan akuntabilitas dalam perspektif teori principal-agent, yakni dengan melihat persoalan akuntabilitas dalam konteks tingkat kepatuhan para pihak terpilih terhadap janji-janji politiknya selama kampanye.
Pemerintah bisa dikatakan akuntabel jika warga pemilih merasa puas terhadap kinerja mereka dalam menjalankan pelayanan publik dengan baik. Sebaliknya, warga pemilih dapat memberikan sanksi kepada mereka yang tak performed dengan cara mencabut mandat di setiap proses politik elektoral (Przeworski et al, Democracy, Accountability, and Representation, 1999).
Benar yang dikatakan Anwar Abbas dalam Sambutannya, yang paling penting untuk menjaga kekokohan Demokrasi ditanah air adalah akhlak, bagaimana dengan akhlak yang tidak baik. Secara tidak langsung proses demokrasi akan diwarnai dengan Politik Uang, Korupsi, dan Jual Beli Suara.
Politik uang dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Penyelewengan kekuasaan dan juga dalah penyelewengan mandate rakyat (pemilih) yang dilakukan politisi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan mengakibatkan rakyat menjadi korban karena hak-haknya sebagai Warga Negara (Pemilih) terampas dan mencederai prinsip,kejujuran dan keadilan dalam demokrasi.
Maka dari itu, dalam menghadapi pesta rakyat, Bawaslu terus mengedukasi ke masyarakat bagaimana menjadi Pemilih yang cerdas. Bagaimana menjadikan mereka dengan kesadaran memilih memiliki sikap kritis dan rasional pada pemilu ataupun pemilihan, yaitu memahami hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, memahami dan mengkritisi visi, misi dan program kerja para kandidat dan parpol serta tentu saja anti terhadap politik uang(money politics). (*)